PENDIDIKAN KARAKTER SEBAGAI SOLUSI MEMPERBAIKI MORAL BANGSA
Oleh: Yeyen Meilinawati Safitri
( Kurikulum dan Teknologi Pendidikan UNY )

ABSTRAK
Moral meerupakan parameter utama selain kecerdasan kognitif untuk menunjukan seseorang tersebut berkualitas atau tidak.Menurunnya moralitas Bangsa menyebabkan bahwa bangsa tersebut tidak berkualitas Pendidikan karakter menawarkan solusi untuk memperbaiki moral bangsa tersebut.
Pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang hal yang baik sehingga siswa didik menjadi faham tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan nilai yang baik dan mau melakukannya Seperti kata Aristoteles, karakter itu erat kaitannya dengan kebiasaan yang terus menerus dipraktekkan dan dilakukan.

Pendidikan karakter ini erat kaitannya dengan kecerdasan emosi anak seperti percaya diri , (confidence), kemampuan kontrol diri (self-control), kemampuan bekerjasama (cooperation), kemudahan bergaul dengan sesamanya (socializaation), kemampuan berkonsentrasi (concentration), rasa empati (empathy) dan kemampuan berkomunikasi (comunication).
Maka dari itu, sekarang bukan saatnya lagi kecerdasan kognitif saja yang di utamakan, namun untuk membentuk manusia yang berkualitas kecerdasan emosionalpun harus diperhatikan, salah satunya melalui pendidikan karakter ini.

PENDAHULUAN
Individu disebut tidak bermoral ( amoral ) saat ia tidak mampu memberikan penghargaan terhadap diri sendiri maupu lingkungannya dalam kehidupan sehari – hari. Para psikolog melihat penyimpangan perilaku individu yang berbeda dengan norma umumnya ini sebagai suatu “ deviant behavior “, atau “ delinquent “, misalnya ketika seseorang mempunyai tingkat agresivitas ( aggressive ) yang amat tinggi disertai perilaku yang merusak . Bentuk penyimpangan lainnya adalah ketika individu mempunyai perilaku antisocial, dimana sifat merusak terhadap lingkungan sangat dominant, misalnya pada tingkat ringan dengan melakukan coret – coretan di tempat umum, pada tingkat menengah dengan menganiaya orang lain, atau pada tingkat berat dengan membunuh makhluk hidup lainnya tanpa rasa iba. Dengan kata lain penyimpangan perilaku yang melawan nilai, norma dan hokum ini dikenal sebagai suatu kejahatan. ( http : tumoutou.net/ 702_05123/dwi_hastuti.htm )
Ada beberapa indikator yang digunakan untuk melihat adanya kejahatan dan demoralisasi umat manusia yang kemudian dijadikan ukuran bagi perkembangan kualitas kehidupan suatu bangsa. Menurut Thomas Lickona (1992) terdapat sepuluh tanda dari perilaku manusia yang menunjukkan arah kehancuran suatu bangsa yaitu: meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, ketidakjujuran yang membudaya, semakin tingginya rasa tidak hormat kepada orangtua, guru dan figur pemimpin, pengaruh peer group terhadap tindakan kekerasan, meningkatnya kecurigaan dan kebencian, penggunaan bahsa yang memburuk, penurunan etos kerja, menurunnya rasa tanggungjawab individu dan warga negara, meningginya perilaku merusak diri dan semakin kaburnya pedoman moral. ( http://tumoutou.net/702_05123/dwi_hastuti.htm )
Banyaknya pelaku pendidikan ( siswa bahkan guru ) yang melakukan tindakan tak bermoral, menjadikan “ tanda tanya besar “, Bagaimana peran pendidikan dalam pembentukan moral bangsa ?, apakah pendidikan hanya sebagai formalitas saja atau pendidikan hanya berperan dalam pembentukan kognitif saja? Melihat fenomena masalah tersebut maka pendidikan karakter dapat dijadikan solusi dalam memperbaiki moral Bangsa .

PEMBAHASAN
Pendidikan karakter berbeda maknanya dengan pendidikan moral yang pernah di dengung dengungkan di dunia pendidikan dewasa ini.Pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang hal yang baik sehingga siswa didik menjadi faham tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan nilai yang baik dan mau melakukannya Seperti kata Aristoteles, karakter itu erat kaitannya dengan kebiasaan yang terus menerus dipraktekkan dan dilakukan.
Menurut Wynne (1991) kata karakter berasal dari Bahasa Yunani yang berarti “to mark” (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Oleh sebab itu seseorang yang berperilaku tidak jujur, kejam atau rakus dikatakan sebagai orang yang berkaraktek jelek, sementara orang yang berperilaku jujur, suka menolong dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia. Jadi istilah karakter erat kaitannya dengan kepribadian seseorang, dimana seseorang bisa disebut orang yang berkarakter jika tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral.
Kebiasaan berbuat tidak selalu berbuat baik tidak slalu menjamin bahwa manusia yang telah terbiasa berbuat baik secara sadar menghargai pentingnya karakter, karena mungkin saja kebiasaan berbuat baik tersebut dikarenakan rasa takut atau tidak enak dengan orang lain, atau hukuman yang diberikan jika tidak berbuat baik, tidak tulus karena dia menginginkan berbuat baik. Maka dari itu dalam pendidikan karakter diperlukan aspek perasaan.
Memakai istilah Lickona (1992) komponen ini dalam pendidikan karakter disebut “desiring the good” atau keinginan utnuk berbuat kebaikan. Menurut Lickona pendidikan karakter yang baik dengan demikian harus melibatkan bukan saja aspek “knowing the good” (moral knowing), tetapi juga “desiring the good” atau “loving the good” (moral feeling) dan “acting the good” (moral action). Tanpa itu semua manusia akan sama seperti robot yang terindoktrinasi oleh sesuatu paham.( http://tumoutou.net/702_05123/dwi_hastuti.htm )

Pendidikan karakter ini erat kaitannya dengan kecerdasan emosi anak seperti percaya diri , (confidence), kemampuan kontrol diri (self-control), kemampuan bekerjasama (cooperation), kemudahan bergaul dengan sesamanya (socializaation), kemampuan berkonsentrasi (concentration), rasa empati (empathy) dan kemampuan berkomunikasi (comunication).
Dalam pendidikan karakter Lickona ( 1992 ) menekankan pentingnya 3 koponen karakter yang baik ( components of good character ) yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral dan moral action atau perbuatan bermoral. Menurut Foerster ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain.Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas. ”Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior.” Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya.( http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/pendidikan/umum1.htm ) Sedangkan Ratna Megawangi sebagai pencetus pendidikan karakter di Indonesia telah menyusun karakter mulia yang selayaknya diajarkan kepada anak, yang kemudian disebut sebagai 9 pilar yaitu: 1. Cinta Tuhan dan kebenaran (love Allah, trust, reverence, loyalty) 2. Tanggungjawab, kedisiplinan, dan kemandirian (responsibility, excellence, self reliance, discipline, orderliness) 3. Amanah (trustworthiness, reliability, honesty) 4. Hormat dan santun (respect, courtessy, obedience) 5. Kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama (love, compassion, caring, empathy, generousity, moderation, cooperation) 6. Percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah (confidence, assertiveness, creativity, resourcefulness, courage, determination and enthusiasm) 7. Keadilan dan kepemimpinan (justice, fairness, mercy, leadership) 8. Baik dan rendah hati (kindness, friendliness, humility, modesty) 9. Toleransi dan cinta damai (tolerance, flexibility, peacefulness, unity) ( http://tumoutou.net/702_05123/dwi_hastuti.htm ) Penerapan pendidikan karakter di sekolah bukan hanya sebagai wavcana atau dongeng belaka namun pengajaran tentang nilai-nilai berhubungan dengan sistem sekolah secara keseluruhan, diajarkan sebagai subyek yang berdiri sendiri, diintegrasikan dalam kurikulum sekolah keseluruhan, seluruh staf menyadari dan mendukung tema nilai yang diajarkan. Penekanan ditempatkan untuk merangsang bagaimana siswa menterjemahkan prinsip nilai ke dalam bentuk perilaku sehari – hari. Maka dari itu, sekarang bukan saatnya lagi kecerdasan kognitif saja yang di utamakan, namun untuk membentuk manusia yang berkualitas kecerdasan emosionalpun harus diperhatikan, salah satunya melalui pendidikan karakter ini.

PENUTUP
Pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang hal yang baik sehingga siswa didik menjadi faham tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan nilai yang baik dan mau melakukannya Seperti kata Aristoteles, karakter itu erat kaitannya dengan kebiasaan yang terus menerus dipraktekkan dan dilakukan.
Menurut Ratna Megawangi sebagai pencetus pendidikan karakter di Indonesia telah menyusun karakter mulia yang selayaknya diajarkan kepada anak, yang kemudian disebut sebagai 9 pilar yaitu:
1. Cinta Tuhan dan kebenaran (love Allah, trust, reverence, loyalty) 2. Tanggungjawab, kedisiplinan, dan kemandirian (responsibility, excellence, self reliance, discipline, orderliness) 3. Amanah (trustworthiness, reliability, honesty) 4. Hormat dan santun (respect, courtessy, obedience) 5. Kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama (love, compassion, caring, empathy, generousity, moderation, cooperation) 6. Percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah (confidence, assertiveness, creativity, resourcefulness, courage, determination and enthusiasm) 7. Keadilan dan kepemimpinan (justice, fairness, mercy, leadership) 8. Baik dan rendah hati (kindness, friendliness, humility, modesty) 9. Toleransi dan cinta damai (tolerance, flexibility, peacefulness, unity) Maka dari itu, sekarang bukan saatnya lagi kecerdasan kognitif saja yang di utamakan, namun untuk membentuk manusia yang berkualitas kecerdasan emosionalpun harus diperhatikan, salah satunya melalui pendidikan karakter ini.

DAFTAR PUSTAKA
Sunarso, dkk. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta : UNY Press.

http://tumoutou.net/702_05123/dwi_hastuti.htm http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/pendidikan/umum1.htm

http://ihf-org.tripod.com/pustaka/KecerdasanPlusKarakter.htm


http://jeremiasjena.wordpress.com/2007/11/02/pendidikan-karakter-yang-membebaskan/